SMK Mikael Surakarta

Aku Pribadi yang Disiplin

Aku Pribadi yang Disiplin (?)

 

STM Katolik Mikael, sekolah teknik mesin…

Cerdaskan para siswanya, trampil, jujur, disiplin…

 

Kita semua tentunya sudah sangat familiar dengan petikan kalimat-kalimat di atas (sedikit pengecualian mungkin bagi teman-teman baru kelas X). kalimat-kalimat di atas adalah bagian dari syair Mars Mikael yang selama ini selalu kita nyanyikan dengan bangga. Dengan lagu tersebut, setidaknya di bagian awal kita sudah ditawarkan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada setiap siswa SMK Mikael (yang dulunya bernama STM Mikael, dan dengan alasan historis inilah maka syair lagu Mars Mikael tidak boleh diubah). Mungkin yang menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa nilai-nilai yang ditawarkan adalah trampil, jujur, dan disiplin? Apakah tidak boleh jika urutannya dibolak-balik?

Banyak prediksi jawaban yang bisa dikemukakan untuk pertanyaan ini. Jawaban yang pasti tentunya tidak bisa didapatkan secara akurat, karena Bapak Inigo Sutarmo yang menciptakan lagu ini sudah meninggal dunia (tentunya kita tidak bisa menanyakan kepada beliau mengapa disusun seperti itu…), dan sampai saat ini belum ditemukan catatan yang spesifik terkait pertanyaan yang dikemukakan di atas. Kita hanya bisa berandai-andai, dan berharap jawaban yang kita kemukakan setidaknya mirip dengan gagasan suwargi Bapak Sutarmo saat menciptakan lagu ini.

Hal ini pulalah yang bisa saya lakukan ketika merefleksikan pertanyaan ini. Saya tidak bisa melakukan sesuatu hal yang lebih, selain berandai-andai, dalam menjawab pertanyaan ini. Saya memprediksikan, bahwa mengapa kata-kata “trampil, jujur, disiplin” dirangkai dalam urutan yang sedemikian rupa karena memang ada maksud di balik rangkaian kata tersebut. Saya mencoba merefleksikan bahwa untuk menjadi murid SMK Mikael (atau STM Mikael saat itu…), terampil saja belum cukup. Terampil dan jujur saja juga masih belum cukup. Terampil, jujur, dan disiplin barulah cukup.

Maka ketika kata “disiplin” disampaikan di bagian akhir rasanya sangat tepat. Kata “disiplin” menjadi seperti gong dalam irama gamelan yang ingin menegaskan sebuah tembang yang disampaikan kepada publik. Akan menjadi sesuatu yang aneh jika gong lebih dulu dibunyikan di tengah-tengah, saat tembang dilantunkan. Maka pilihan menempatkan kata “disiplin” di setelah terampil dan jujur rasanya menjadi seperti susu yang melengkapi semua makanan sehat (4 sehat 5 sempurna) dalam kampanye yang ditawarkan oleh Profesor Purwo Sudarmo, seorang ahli gizi Indonesia  di tahun 1955.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah definisi disiplin itu sendiri? Kita bisa menjawab dengan berbagai versi, baik yang singkat maupun yang panjang. Kita bisa membuka kamus, mencari di ensiklopedia, bertanya ke Mbah Datuk Google, dan banyak cara lainnya. Namun dalam sebuah refleksi, pemaknaan akan menjadi tepat jika jawaban yang direfleksikan memberi sebuah dampak bagi perubahan dalam hidup kita. Selama ini kata “disiplin” lebih sering dilihat dari kacamata negatif. Banyak orang melihat kedisiplinan sebagai sesuatu yang menakutkan. Banyak orang melihat kedisiplinan sebagai sesuatu yang membawa hukuman. Dan pada akhirnya, banyak orang juga yang tidak tertarik membicarakan kedisiplinan (apalagi melakukannya dalam hidupnya…).

Bagi saya pribadi, kata disiplin dapat diartikan secara sederhana. Kedisiplinan adalah sebuah kepatuhan terhadap aturan yang diberlakukan. Maka orang yang berdisiplin adalah orang yang mematuhi semua aturan yang diberlakukan dalam hidupnya. Aturan yang dibuat tentunya menimbulkan konsekuensi bahwa manusia menjadi dibatasi ruang geraknya. Namun, di atas semua batasan tersebut, perlu digarisbawahi pula bahwa aturan dibuat dan disepakati untuk kebaikan bersama. Kita mungkin tidak terlibat atau tidak dilibatkan saat aturan tersebut dibuat, namun kita diajak meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk kebaikan bersama.

Yang menjadi sesuatu yang seringkali memberatkan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi patuh atau disiplin. Untuk menjadi orang yang patuh membutuhkan sebuah kerendahan hati. Menjadi rendah hati berarti mau dan sadar untuk menjadikan diri kita dibentuk oleh sebuah proses. Dalam proses pendidikan di SMK Mikael, untuk menjadi pribadi yang patuh dan disiplin, mutlak dibutuhkan kerendahan hati untuk merelakan pribadi kita dibentuk dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh SMK Mikael. Tanpa kerendahan hati, akan menjadi sesuatu yang sulit bagi para pendidik untuk menjalankan pembentukan karakter dalam proses pendidikan di SMK Mikael.

Saya masih ingat betul dan sekarang masih mengamati (walaupun saya rasa jumlahnya sekarang sudah tidak sebanyak dahulu…). Pada jaman dulu banyak orangtua yang menimang-nimang anak bayinya sambil membisikkan pesan (dalam Bahasa Jawa disebut ngudang bayi). Salah satu pesan yang sering dibisikkan yaitu agar si anak kelak menjadi anak yang patuh kepada orangtua (walaupun biasanya di usia remaja kebanyakan dari anak-anak tersebut memulai sebuah pemberontakan terhadap orangtuanya..). Dari contoh ini, yang ingin saya sampaikan adalah, jika orangtua saja berkehendak anaknya menjadi pribadi yang patuh, begitu juga para pendidik di sekolah, tentunya juga menginginkan para siswa juga menjadi pribadi-pribadi yang patuh.

Kita bisa melihat dan merasakan dampak dari sebuah ketidakdisiplinan. Tak perlu jauh-jauh, di masa pandemi Covid 19 ini saja, ketika aturan yang dibuat oleh pemerintah tidak dilakukan dengan disiplin oleh para warganya, bukan pemerintah yang memberi hukuman, namun alam semesta sendiri yang menghukumnya. Dari sini kita bisa belajar bahwa sebuah ketidakdisiplinan yang dilakukan oleh seseorang bisa membawa dampak yang merugikan bagi dirinya dan orang lain.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengkampanyekan kedisiplinan. Beberapa waktu lalu, Walikota Surakarta, Bapak Hadi Rudyatmo mendadak terkenal karena perintahnya “Do Manuto” (kira-kira berarti “menurutlah”…). Pak Rudy memberikan perintah tersebut mungkin karena geregetan dengan banyak warganya yang tidak mengikuti protokol kesehatan, sehingga kasus Covid 19 susah dikendalikan. Tidak hanya pejabat pemerintah saja yang sudah berusaha, banyak pihak yang juga menyuarakan pesan-pesan kedisiplinan. Bahkan, maestro musik Jawa, Didi Kempot, sebelum akhirnya harus beristirahat (tentunya dalam kedamaian yang abadi…) juga ikut ambil bagian sebagai “agen” dalam menyerukan pesan kedisiplinan melalui lagu-lagu karyanya bagi para “sobat ambyar”.

Melalui tulisan ini, dengan segala kerendahan hati, saya mengajak teman-teman untuk mulai menjadi pribadi-pribadi yang disiplin, khususnya pada masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Mungkin banyak aturan yang kita rasakan kurang cocok, atau kurang berkenan bagi kita secara pribadi. Namun, saya pun mengajak, agar dengan segala kerendahan hati pula, kita mematuhi aturan yang berlaku, dengan sebuah keyakinan bahwa semua ini memang dibuat dan dirancang untuk kebaikan bersama.

Jika dilihat dari judul tulisan ini, tanda tanya dicantumkan dalam kurung, sebenarnya ingin menyampaikan bahwa judul tulisan ini bisa menjadi pertanyaan sekaligus pernyataan diri kita. Sebagai sebuah pertanyaan, kita bisa menanyakan kepada diri kita masing-masing, apakah kita sudah menjadi pribadi yang disiplin? Sebagai sebuah pernyataan, kita bisa menyampaikan kepada banyak pihak (guru, orangtua, wali kelas, dll). Bahwa kita adalah pribadi yang disiplin.

Semoga Tuhan selalu mendampingi dan melindungi kita, khususnya di masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang akan menimbulkan banyak tantangan, banyak pertanyaan, banyak kesempatan, sekaligus banyak jalan keluar.

 

Tiap hari latih diri, pantang mundur terus maju…

Salam dan Doa…

 

Alexander Arief Rahadian

Sub Pamong

 

 

Home
Berita
Kontak
Galeri