Jl. Mojo No. 1 Karangasem, Laweyan, Surakarta
Telp. 0271-712728
Fax. 0271-728681
info@smkmikael.sch.id
Pada tanggal 17 Agustus 1965 (hampir 55 tahun yang lalu), dalam kesempatan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 20, Presiden Sukarno saat itu menyampaikan pidatonya yang berjudul “Tjapailah Bintang-Bintang di Langit”. Pidato tersebut nantinya lebih dikenal dengan nama “Tahun Berdikari” atau Takari (jika ada keluarga Anda yang bernama Takari, kemungkinan lahir di sekitar waktu itu). Pada momentum 20 tahun Indonesia Merdeka, Bung Karno menyampaikan refleksinya dalam perjalanan sejarah Indonesia. Salah satu bagian yang saya ingat dari pidato yang panjang tersebut adalah bahwa Bung Karno menyampaikan bahwa sebuah perjuangan itu merupakan hal yang abadi. For a fighting nations, there is no journey’s end.
Pada kesempatan tersebut, Bung Karno juga memilih sebuah kata “berdikari”. Kata berdikari sendiri sejatinya merupakan akronim dari “berdiri di atas kaki sendiri”. Dengan pilihan kata ini, Bung Karno ingin menyampaikan kepada banyak pihak bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mandiri, yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Dan kutipan pidato Bung Karno tersebut jugalah yang saya jadikan pemantik (trigger) untuk refleksi kita di kesempatan Pamong Menyapa kali ini. Saat ini kita sedang dihadapkan pada situasi yang mungkin pernah kita bayangkan, namun tidak pernah kita harapkan terjadi pada diri kita, terlebih untuk waktu yang lama. Setidaknya selama satu semester ke depan kita akan berdinamika dengan proses ini. Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat jugalah yang akhirnya juga ikut berperan dalam proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini. Saya membayangkan, jika saja pemanfaatan internet tidak berkembang sepesat ini, mungkin media yang paling efektif untuk PJJ ini adalah radio, jika dibandingkan dengan televisi atau media yang lain. Namun syukurlah, berkat perkembangan internet, kita akhirnya bisa merasakan betapa hebatnya perubahan jaman. Kita yang terpencer di berbagai tempat akhirnya bisa merasakan belajar bersama di sebuah kelas digital bernama “Google Classroom”. Kita juga bisa merasakan bertemu dan menyapa teman-teman sekelas yang saat ini ada di berbagai tempat melalui “Google Meet” (meskipun boros kuota…), dan bahkan bisa berkompetisi dalam mengerjakan tugas melalui quizizz.
Namun bagaimanapun juga, kita tetap merasakan ada sesuatu yang kurang di sana. Relasi interpersonal yang nyata menjadi sudat barang mahal dan langka saat ini, dan tentunya dirindukan banyak orang. Perkembangan teknologi yang pesat ternyata tidak dapat menghapuskan kerinduan manusia untuk berelasi secara langsung dengan orang lain. Jika ditanya lebih sreg proses pembelajaran yang mana ; jarak dekat atau jarak jauh, mungkin sebagian besar dari kita (termasuk saya tentunya) akan lebih memilih proses pembelajaran jarak dekat. Dengan segala keterbatasannya, proses pembelajaran jarak dekat masih memungkinkan adanya celah untuk melakukan relasi interpersonal secara langsung seperti makan bareng saat istirahat di depan kelas (bagi mereka yang membawa bekal), jajan bareng di warung saat istirahat (bagi mereka yang tidak membawa bekal), berolahraga bareng di sport centre, sampai banyak hal lain yang dulu dianggap biasa saja, namun sekarang menjadi sesuatu yang terasa mewah.
Tetapi kita harus menyadari, bahwa PJJ memang menjadi model pembelajaran yang terbaik untuk saat ini, khususnya di masa pandemi Covid 19 ini. Dalam PJJ, semuanya tetap saling belajar, tidak hanya siswanya saja namun juga para guru sebagai pendidik. Guru belajar menyiapkan materi, metode, strategi dan evaluasi pembelajaran, sedangkan siswa belajar untuk semakin akrab dengan teknologi-teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran. Guru dan siswa juga bisa saling belajar dari pengalaman yang dijalani bersama. Sebagai seorang guru, saya pribadi juga merasakan bahwa Google Meet ternyata boros kuota. Dari situ saya mempertimbangkan untuk menggunakan Google Meet hanya untuk hal yang benar-benar penting, meskipun tidak lalu menolak menggunakan Google Meet dengan alasan boros kuota. Setidaknya saya tetap menggunakan Google Meet agar dapat menyapa dan mendengarkan suara dari teman-teman siswa baru kelas X, dan mendengarkan perkenalan dari mereka.
Pembelajaran Jarak Jauh juga memberikan kesempatan sekaligus tantangan bagi kita. Salah satunya adalah kita diajak untuk menjadi pribadi-pribadi yang mandiri, kita diajak untuk menjadi pribadi-pribadi yang berdikari. Menjadi pribadi yang berdikari artinya tentu tidak dalam makna yang sempit, dimana kita diajak mengandalkan diri kita dalam mengatasi semua hal, bukan seperti itu. Menjadi pribadi yang berdikari harus kita maknai secara luas bahwa kita diajak untuk semakin percaya diri dalam menghadapi banyak hal yang akan kita jumpai, yang seringkali tidak pernah kita duga atau kita harapkan. Untuk dapat melakukan semuanya itu, kita masih tetap bergantung pada orang lain di sekitar kita. Setidaknya di PJJ ini kita masih akan tetap bergantung kepada orangtua, teman sekelas, wali kelas, dan guru-guru yang mendampingi selama masa PJJ ini.
Salah satu kunci untuk dapat menjalani semua itu dengan baik adalah membangun komunikasi yang baik. kesempatan PJJ ini dapat kita mangaatkan untuk membangun komunikasi yang baik pula tentunya. Berbagai media bisa kita gunakan, dari media elektronik sampai media sosial. Kita seharusnya dapat memanfaatkan semuanya untuk membangun sebuah sikap berdikari dalam berkomunikasi, tentunya komunikasi yang penuh tanggungjawab.
Dari pengalaman-pengalaman PJJ di minggu pertama, saya menjumpai dan menemukan beberapa kejadian yang akar masalahnya adalah komunikasi yang belum berjalan sesuai harapan. Untuk para siswa kelas XI dan XII, dengan pengalaman dan kebiasaan bersama selama ini, tidak banyak penyimpangan yang ditemui. Namun berbeda dengan para siswa di kelas X. Dengan berbagai latar belakang, dan mungkin juga belum pernah berjumpa secara langsung (sampai MPLS pun dilakukan secara daring…), dalam dinamika bersama mereka saya menjumpai beberapa ketidaksesuaian (atau mungkin lebih tepat jika saya istilahkan “kebelumsesuaian”..) yang disebabkan komunikasi yang belum baik. Peristiwa yang sering terjadi adalah beberapa siswa belum melakukan presensi, sehingga oleh guru mata pelajaran dihitung sebagai tindakan alpa, dan selanjutnya dilaporkan kepada bagian Kesiswaan.
Sebagai personil yang ditugaskan secara khusus untuk mendampingi para siswa kelas X di masa PJJ ini, peristiwa ini juga menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi saya untuk membantu para siswa membangun sikap berdikari dalam berkomunikasi. Setelah mendapat laporan dari guru mapel, saya pasti akan menghubingi siswa yang dinyatakan melakukan kebelumsesuaian tersebut. Saat berdiskusi bersama mereka, masalah yang sering muncul biasanya adalah karena koneksi internet yang lemot, kehabisan kuota, listrik mati, atau memang dalam keadaan sakit. Namun dari semua temuan tersebut, hampir semua siswa kelas X yang bermasalah dengan presensi tidak melaporkan hal ini kepada guru mata pelajaran (setidaknya setelah waktu pelajaran tersebut berakhir) tentang situasi yang mereka alami. Guru mata pelajaran yang tidak tahu menahu akhirnya mencatat hal ini sebagai tindakan alpa.
Dari pengalaman-pengalaman ini, saya mencoba merefleksikan kembali bahwa untuk menjadi pribadi-pribadi yang berdikari dalam berkomunikasi, memang harus dilatihkan, memang harus dibiasakan, dan memang harus dilakukan terus-menerus sehingga nantinya menjadi bagian dari proses pembentukan karakter sebagai seorang siswa SMK Katolik Santo Mikael. Bahwa proses ini bukan hal yang mudah itu pasti. Namun seperti yang disampaikan Bung karno di tahu 1965, saya meyakini bahwa semua ini adalah bagian dari sebuah perjuangan yang abadi. For a fighting nation, there is no journey’s end.
Tiap hari latih diri, pantang mundur terus maju…
Salam dan Doa…
Alexander Arief Rahadian
Sub Pamong