Saya rasa kalian setuju bahwa saat ini kita hidup dalam kondisi yang jauh dari sempurna. Belajar dan mengajar secara daring seringkali tidak berjalan lancar. Baik karena sinyal putus-putus, paket Internet habis, maupun karena suasana belajar di rumah yang berbeda dengan sekolah. Mau ke mana-mana pun tidak mudah karena ada risiko tertular virus corona. Ditambah lagi, ketika mau memperbaiki diri, orang lain malah nyinyir atau tidak percaya. Hambatan yang ditemui ketika kalian mau memperbaiki hidup pun tidak sedikit.

Akan tetapi, bukankah memang tidak ada hidup yang sempurna? Betul, kalau kalian membaca Kitab Suci, Tuhan menciptakan segala sesuatu baik adanya. Tapi, untuk bisa sampai sempurna, wah prosesnya masih panjang, belum selesai. Mengharapkan kesempurnaan hidup malah bikin frustrasi.

Orang yang suci sekalipun hidup dalam ketidaksempurnaan. Sebut saja Santo Ignasius Loyola yang semangatnya kita hidupi di SMK Mikael tercinta ini. Gereja Katolik khususnya tidak ada yang akan menyangkal kesucian Ignasius. Selain rajin berdoa, amal kasihnya kepada orang miskin dan sakit juga luar biasa. Akan tetapi, siapa sangka kesucian Ignasius pernah dinodai catatan tidak sempurna. Sebut saja: catatan kriminal karena kasus pembunuhan, tukang rayu perempuan, studi yang lama sekali tidak rampung, kaki pincang karena dihajar peluru meriam, pernah dipenjara, dan masih banyak lagi.

Pada satu sisi, kita bisa menyangka  Ignasius ini sama sekali tidak cocok jadi santo alias orang kudus. Di sisi lain, ketika ia mau berusaha hidup lebih baik, pasti selalu ada saja hambatannya. Mungkin kita semua mengalaminya.

Kalau begitu, apakah salah kalau bercita-cita ingin hidup sempurna? Tentu tidak. Tapi, orang yang merasa hidupnya sudah sempurna akan menjadi malas dan mandeg, merasa sudah cukup. Maka, bersyukurlah ketika kita sadar bahwa hidup kita tidak sempurna. Mengapa? Kesadaran akan hidup yang tidak sempurna mendorong kita untuk membuat hidup jadi lebih baik.

Salam,

Rafael Mathando Hinganaday, SJ

Pamong