SMK Mikael Surakarta

AMBIL DAN BACALAH

Pada pertengahan tahun 2016, setelah penerimaan rapor semester genap, saya dan rekan-rekan guru diminta untuk mengikuti pelatihan implementasi Kurikulum 2013 yang disempurnakan, sebagai guru sasaran (gusar), sebuah akronim yang menurut saya kurang elegan dan cenderung mempunyai arti negatif. Bisa dirasakan bahwa kegiatan awal ini tentunya membuat kami sedikit gusar juga, karena acaranya diletakkan pada saat kami seharusnya merasakan liburan semester bersama para siswa. Selain itu, pemberitahuan dan perintah untuk mengikuti acara ini juga dirasakan sangat mendadak (bahkan sampai saya harus membatalkan tiket kereta api yang sudah saya pesan untuk liburan). Meskipun demikian, saya tidak akan mengungkit-ungkit secara detail acara yang pernah mengecewakan tersebut. Saya justru memaknai dengan rasa syukur, bahwa nyatanya masih diberikan kesempatan untuk belajar, meskipun di waktu dan suasana yang dirasa kurang tepat.

Dari kegiatan tersebut, satu hal yang benar-benar baru adalah dipromosikannya sebuah program yang bernama Gerakan Literasi Sekolah (GLS). program ini berawal dari ide Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia saat itu, Anies Rasyid Baswedan (ya betul… yang lebih dikenal dengan nama Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat ini), untuk meningkatkan minat baca para pelajar (saat itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membawahi sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat SMA/SMK, sedangkan untuk perguruan tinggi berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan TInggi, disingkat Kemenristi).

Program GLS berangkat dari sebuah keprihatinan bahwa minat dan budaya membaca di kalangan orang Indonesia secara umum masih tergolong rendah. Maka dengan digulirkannya program ini, diharapkan minat baca di kalangan pelajar Indonesia dapat ditingkatkan. Jika saya tidak salah ingat, teknis kegiatannya dilakukan sebelum awal pembelajaran. Sekitar 10-15 menit sebelum awal pembelajaran di sekolah, para siswa diminta untuk membaca apa yang mereka sukai. Bisa majalah, surat kabar, bahkan komik sekalipun. Harapannya dengan kegiatan ini minat dan budaya baca di kalangan pelajar Indonesia dapat ditingkatkan.

Namun yang rasa rasakan saat ini justru kebalikannya. Kegiatan ini hanya panas di awal, suam-suam di tengah, sampai akhirnya hampir tenggelam dan nyaris tak terdengar. Setidaknya saat ini saya merasakan budaya membaca di kalangan siswa di SMK Katolik Santo Mikael juga belum begitu memuaskan. Apalagi di masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Kegiatan membaca (buku terutama..) bukan menjadi hal yang menarik jika dibandingkan dengan mengakses Youtube atau bermain game. Boro-boro membaca buku, membaca perintah soal saja masih banyak melesetnya, sampai saya mengusulkan bahwa membaca dan memahami perintah soal harus dijadikan sebagai Kompetensi Dasar dalam pembelajaran, khususnya di masa PJJ ini (lihat di tulisan saya beberapa judul sebelum tulisan ini…)

Ketika saya membuka topik pembicaraan tentang Bumi Manusia, anak-anak jaman sekarang banyak yang merujuk kepada sosok Iqbal Ramadhan dan Mawar Eva de Jong, sebagai pemeran tokoh Minke dan Annelies Mellema di film. Ada juga yang mengetahui bahwa itu merupakan salah satu judul novel karya Pramudya Ananta Toer. Namun sedikit yang mengetahui, bahwa novel tersebut ditulis saat Pramudya dipenjara di Pulau Buru sebagai tahanan politik, pada awalnya diceritakan secara lisan kepada sesama tahanan, selanjutnya ditulis di kertas bekas kantong semen, diselundupkan, dan dari situ masih akan lahir novel-novel mahakaryanya yang lain yang berjudul Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Tokoh lain yang dapat menjadi rujukan tentang kebiasaan mereka membaca adalah Mohammad Hatta dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mohammad Hatta, di masa penjajahan Belanda, pernah mengalami pula nasib sebagai tahanan politik, seperti yang dirasakan Pramudya Ananta Toer. Bung Hatta pernah mengalami pembuangan di Digul, Papua dan di Banda Neira, Maluku. Ketika di Banda Neira, Bung Hatta mengangkat Des Alwi Abubakar, seorang bocah lokal, sebagai anak angkatnya (Des Alwi biasa memanggilnya dengan sebutan “Om Kaca Mata..). Dalam kesaksiannya, Des Alwi menyampaikan bahwa kekayaan Bung Hatta ada di buku-bukunya yang berjumlah beberapa peti, yang selalu dibawa dimanapun dia diasingkan oleh pemerintah Belanda. Bung Hatta mempunyai kebiasaan tidak mau diganggu ketika sedang membaca buku dan akan marah jika mereka yang meminjam bukunya, tidak mengembalikan pada tempatnya atau tidak merawat buku yang dipinjamnya. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memiliki kebiasaan membaca buku. Dalam pengakuannya, Gus Dur mengatakan bahwa saat teman seusianya sudah mulai berpacaran, pacarnya hanya buku dan bola. Saking ketagihan dengan membaca, Gus Dur bisa membaca di mana saja, dan apa saja tanpa memilih tempat. Tak ada buku, potongan koran pun jadi. Tak heran, semasa sekolah ia pun menjadi penulis yang sangat produktif.

Sudah cukup ya, pembicaraan tentang Pramudya Ananta Toer, Bung Hatta, dan Gus Dur cukup sampai di sini, mari kita lihat kembali budaya dan kebiasaan membaca dari sudut pandang yang lain. Dari sudut pandang spiritual, budaya dan kebiasaan membaca ternyata juga dianjurkan sebagai sebuah tradisi dan kebiasaan yang baik. Dalam tradisi Kristen juga dikenal kisah tentang Santo Agustinus. Agustinus memutuskan menjadi Kristen setelah didorong suara Tuhan yang didengarnya sebagai suara anak kecil yang mengucapkan, tolle et lege (ambil dan bacalah). Suara ini dimaknai oleh Agustinus sebagai perintah Ilahi untuk membuka Alkitab dan membaca hal pertama yang dilihatnya. Dan pertama kali dibaca oleh Agustinus dari Alkitab adalah Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma tentang “Transformasi Umat Beriman”. Dan dari sinilah Agustinus mulai membaharui hidupnya.

Sebagai siswa dari Kolese Jesuit, salah satu patron kita adalah Santo Ignatius dari Loyola. Jika kita membaca kembali kisah tentang Santo Ignatius Loyola, kisahnya mirip-mirip dengan Agustinus. Ignatius juga merupakan sosok yang mengalami transformasi iman karena membaca. Sebagai orang yang dibesarkan sebagai tentara, Ignatius pada awalnya berkarakter tempramental dan cenderung amuk-amukan. Ketika sedang bertugas mempertahankan Benteng Pamplona dari serangan tentara Prancis, kakinya terluka terkena meriam. Ia bersikeras untuk kembali memulihkan kakinya, sekalipun harus dioperasi tanpa obat bius. Dalam masa penyembuhan, karena kesepian, ia minta untuk dicarikan buku-buku sebagai bacaan. Ia menghendaki bacaan tentang roman ksatria. Tetapi di tempat itu tidak ada buku yang diinginkannya. Buku yang ada hanya tentang kisah hidup Kristus dan kisah Santo-Santa. Walaupun pada awalnya malas-malasan membaca buku tersebut, namun pada akhirnya tetap dibaca juga untuk membunuh rasa sepi di masa pemulihannya.

Siapa yang menyangka, bacaan-bacaan ini menciptakan titik balik dalam hidupnya. Dari sebelumnya sebagai orang yang yang memperjuangkan kejayaan duniawi dengan mengandalkan diri sendiri, menjadi orang yang berbalik memperjuangkan hidupnya demi kemuliaan Tuhan (dan kita pun mengenal semboyan Ad Maiorem Dei Gloriam, demi lebih besarnya Kemuliaan Tuhan). Dalam usia yang tidak muda lagi, Ignatius kembali belajar secara formal. Dan pada akhirnya juga, Santo Ignatius mewariskan sebuah buku (yang tentunya agar dapat dibaca…) yang berjudul “Latihan Rohani”. Buku ini pula yang sampai saat ini banyak digunakan untuk memperkuat pengalaman rohani seseorang melalui sebuah pengolahan batin.

Belajar dari Santo Ignatius dari Loyola, kita pun sebenarnya diajak untuk mulai membiasakan diri dengan membaca mulai saat ini. Jika Santo Ignatius yang amuk-amukan saja dapat berubah karena membaca, kita tentu juga bisa. Hanya masalahnya, apakah kita mau memulai? Seandainya mau memulai, akan dimulai kapan?

Saya teringat pesan yang disampaikan oleh dosen saya ketika kuliah, Bapak Suhardi (kebetulan rumah beliau ada di sebelah selatan kompleks bengkel SMK Mikael, dan sebelum pandemi Covid 19 rumah beliau juga menjadi tempat kos beberapa siswa SMK Mikael). Dalam pertemuan pertama ketika kuliah, beliau menyampaikan. Jika kita mau belajar tentang ilmu Teknik (engineering), ada 3 hal yang harus diketahui. Pertama bahwa Ilmu Teknik pasti ada teorinya. Kedua bahwa Ilmu Teknik pasti ada perhitungannya. Dan ketiga, bahwa Ilmu Teknik pasti ada prakteknya. Dan sebagai awalannya, kita harus mulai banyak membaca. Pesan itu yang masih selalu saya ingat, bahkan sampai ketika saya menuliskan tulisan ini

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Lebih baik terlambat memulai daripada tidak sama sekali. Maka pesan saya bagi teman-teman, mulailah membaca dari hari ini. Karena dengan membaca, kita bisa mulai mengubah dunia.

TOLLE ET LEGE.  AMBIL DAN BACALAH

 

 

Salam dan Doa

 

 

Alexander Arief R

Sub. Pamong

Home
Berita
Kontak
Galeri