Jl. Mojo No. 1 Karangasem, Laweyan, Surakarta
Telp. 0271-712728
Fax. 0271-728681
info@smkmikael.sch.id
Educatio puerorum reformation mundi (Mendidik orang muda adalah mengubah dunia)
Sampai meninggalnya Santo ignatius Loyola tahun 1556, beliau telah merestui pendirian 40 kolese. Dan menyetujui karya pendidikan di kolese sebagai salah satu karya Serikat Yesus. Sepotong kalimat di awal tulisan ini menjadi salah satu nilai yang ditawarkan oleh kolese. Dan sebagai bagian dari warga kolese universal, dalam tulisan ini saya ingin mengajak teman-teman kembali merenungkan kembali warisan dari nilai-nilai kekolesean.
Jika dimaknai kembali, kalimat di atas memang sangat tepat. Di bagian dunia sebelah manapun, orang muda adalah para pengubah dunia. Tidak perlu jauh-jauh, di dalam konteks Indonesia pun, orang muda lah yang mengubah dunia. Kita ingat kembali, peristiwa kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, mengingatkan kita akan timbulnya kesadaran berbangsa di kalangan orang Indonesia (pada saat itu mereka menyebut diri sebagai “bumiputra”). Kebangkitan nasional hanyalah pemantik, dan pada akhirnya api yang dikobarkan tersebut menyala ke banyak peristiwa. Salah satu peristiwa yang menjadi dampaknya adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Perlu digarisbawahi pula, dari namanya, kita bisa menerka bahwa tokoh-tokohnya adalah orang-orang muda. Bahkan Presiden Sukarno dalam salah satu retorika yang memang menjadi keahliannya untuk memikat banyak orang pernah menyampaikan, “Beri aku 100 orang tua, akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia”.
Kali ini saya mengajak kita untuk melihat sisi yang lain dari awal tulisan yang saya sampaikan. Jika dengan mendidik orang muda adalah mengubah dunia, dengan merusak orang muda pun juga akan mengubah dunia (tentunya mengubah ke arah yang lebih buruk). Kalimat ini tentunya bukan omong kosong. Contoh sederhana bisa kita lihat di peristiwa di sekitar kita. Mengapa banyak terjadi peristiwa intoleransi di Indonesia misalnya. Jawabannya sederhana dan jelas, karena di keluarga dan di sekolah sebagai tempat Pendidikan, mengajarkan demikian. Menjadi sesuatu yang menyedihkan sebenarnya, mengingat sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, justru mengajarkan sesuatu yang berlawanan dengan nilai pendidikan itu sendiri. Tetapi itulah kenyataannya, sebuah fenomena merusak dunia dengan diawali dengan merusak generasi mudanya.
Akhir-akhir ini, sebagai seorang pendidik, saya pun merasakan fenomena bagaimana generasi muda dirusak. Aktor utama perusaknya bukan oleh lembaga pendidikan ataupun pemerintah, tetapi justru oleh alam semesta sendiri. Alam semesta yang biasanya menjadi sahabat, berbalik seolah-olah menjadi musuh. Kita bisa merasakah, begitu luar biasanya dampak pandemi Covid 19 ini di dalam dunia pendidikan. Dalam waktu yang singkat, segala dinamika proses pendidikan yang sudah dijalani bertahun-tahun seperti diputarbalikkan begitu saja. Pembelajaran daring yang banyak dilaksanakan saat ini tampaknya menjadi seperti “Perjanjian Baru”, menggantikan pembelajaran konvensional sebagai “Perjanjian Lama”.
Saya secara pribadi, bukanlah orang yang anti dengan pembelajaran daring. Saya mengakui, pembelajaran daring memiliki kelebihan yang menjadikannya sangat beralasan untuk dilaksanakan saat ini. Dua hal yang saya akui menjadi dan saya rasakan dalam pembelajaran daring adalah soal fleksibititas dan sumber belajar. Jika dalam pembelajaran konvensional kita lebih akrab dengan suasana yang serba formal, pembelajaran daring menawarkan sesuatu yang lain. Jika dalam pembelajaran konvensional sumber belajar cenderung berpusat pada guru, di pembelajaran daring kita bisa mencari banyak sumber belajar (sehingga evaluasi pembelajaran saat ini bukan lagi open book tetapi juga open web).
Namun tentu pembelajaran daring juga tak luput dari sisi negatif. Hal yang paling terasa adalah, dengan segala kemudahan di dalam pembelajaran daring, justru tidak membuat lebih rajin, namun malah membuat semakin malas. Evaluasi pembelajaran yang seharusnya dimudahkan karena open web, seringkali tidak menjamin hasilnya akan lebih baik dari evaluasi pembelajaran konvensional. Selain itu, penghargaan terhadap waktu menjadi berkurang. Peristiwa keterlambatan dalam mengikuti pembelajaran ataupun penyelesaian tugas, seringkali tidak ditimbulkan karena kendala komunikasi, namun justru karena rasa malas dan menyepelekan.
Begitu juga yang dirasakan ketika para siswa, khususnya kelas XII menjalani Konsultasi Kompetensi Produktif (KKP). Pembelajaran praktek sebagai roh pendidikan vokasi tidak cukup hanya dilaksanakan secara daring. Mau tidak mau, pembelajaran praktek menuntut para siswa untuk kembali masuk sekolah, melaksanakan dinamika praktek terbimbing dengan didampingi oleh para guru (tentunya dengan pemberlakuan protokol kesehatan). Dalam prosesnya, yang menjadi kesulitan bukanlah hal-hal yang terkait dengan kompetensi teknis. Kesulitan yang dirasakan adalah membudayakan kembali bagaimana cara mengikuti pembelajaran, khususnya praktek, dengan baik dan benar. Bukan sebuah peristiwa mudah setelah hampir setahun kita menjalani dinamika pendidikan seperti ini akibat pandemi Covid 19. Namun saya yakin, para guru dan siswa pasti bisa melaluinya.
SMK Katolik St. Mikael sebagai bagian dari kolese universal tentu juga menawarkan nilai-nilai kolese kepada para siswanya. Ketika banyak sekolah lain masih melaksanakan pembelajaran daring, sekolah kita sudah berani menyelenggarakan pembelajaran tatap muka meskipun terbatas. Kita dapat memaknai ini sebagai manifestasi dari nilai magis, untuk melakukan sesuatu yang lebih. Ketika sekolah lain belum berani melakukannya, sekolah kita sudah memulainya. Selain itu, kegiatan ini juga dapat dimaknai sebagai salah satu sarana seperti di bagian awal tulisan saya, sebagai sarana untuk mengubah dunia dengan mendidik orang muda.
Sebagai kesimpulannya, pandemi Covid 19 boleh berusaha untuk merusak kita, tetapi kita tidak boleh menyerah. Jangan jadi rusak!. Jangan biarkan diri kita menjadi rusak karena kita mempunyai tugas yang mulia, mengubah dunia menjadi lebih baik.
Salam dan doa
Alexander Arief Rahadian
Sub. Pamong