SMK Mikael Surakarta

Pendidikan yang berpengharapan dan berbela rasa

Oleh: Albertus Murdianto

Wikan sakarinto (Kompas, 26 Maret 2022) menyampaikan melalui studi nasional dan internasional, krisis pembelajaran di Indonesia telah berlangsung lama dan belum membaik dari tahun ke tahun. Krisis pembelajaran semakin bertambah karena pandemi Covid – 19 yang menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss). Pendidikan vokasi ditantang untuk mampu menciptakan suatu tata kelola pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang kompeten, menguasai soft skills, kepemimpinan (leadership) dan karakter.

Visi Pendidikan Indonesia tahun 2035 adalah membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. SDM yang unggul yang merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan Pancasila. Cita – cita tersebut diwujudkan dalam Profil Pelajar Pancasila yang meliputi akhlak mulia, kebhinekaan global, gotong royong, bernalar kritis, kreatif, dan mandiri.

Kedua topik di atas adalah sekilas pendidikan yang berpengharapan dan berbela rasa. Berpengharapan diartikan sebagai memiliki harapan dan berbela rasa bentuk kepedulian terhadap sesama. Namun beberapa hal masih bersifat umum dan perlu didetailkan agar lebih membumi untuk diimplementasikan di sekolah. Menurut Haryatmoko (2020) saat ini disebut era disrutif - inovatif, model pendidikan harus menjawab kebutuhan macam apa yang diperlukan pada masa depan yang penuh ketidak pastian. Model pendidikan berhasil ditandai dengan bisa menyejahterakan dan kemajuan bangsa artinya setelah selesai menempuh pendidikan, pembelajar memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk masuk dunia kerja.

Dari beberapa pernyataan ada kemiripan dan sebenarnya menjawab apa yang menjadi harapan untuk menyongsong masa depannya. Selain itu dibutuhkan ketrampilan untuk menjawab era disruptif - inovatif antara lain : (1) menyampaikan, menyederhanakan gagasan dan coding literacy, (2) penalaran analisis kritis, (3) komunikasi, akses ke informasi, (4) teknologi informasi, (5) manajemen organisasi fleksibel, (6) perencanaan dan pengorgaisasian untuk inovasi, (7) operasional coding proficiency.

Untuk memenuhi kebutuhan masa depan maka sistem pendidikan dan model pengajaran harus diubah. Menurut Kemendikbud (2020) perlu perbaikan sistem pendidikan menyeluruh di bidang: (1) ekosistem, (2) guru, (3) pedagogi, (4) kurikulum, (5) sistem penilaian. Pada ekosistem perlu perbaikan mindset bahwa sekolah adalah kegiatan menyenangkan dengan pimpinan yang memberikan pelayanan optimal. Manajemen sekolah kompeten dan terbuka untuk kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk orang tua siswa. Infrastruktur yang memadai dan mendukung pembelajaran dan didedikasikan untuk pelajar yang lebih muda.

Perubahan mindset guru bahwa guru sebagai pemilik dan pembuat kurikulum serta sebagai fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan. Kompetensi guru sebagai penentu kualitas pengajaran, maka penilaian kinerja guru dinilai secara holistik. Bidang pedagogi pendekatannya diarahkan pada pendekatan heterogen. Pembelajaran berorientasi pada siswa bahkan siswa ikut menentukan kegiatan belajar dan harus memanfaatkan teknologi. Pengajaran berdasarkan level kemampuan siswa.

Perubahan kurikulumnya lebih fleksibel. Kurikulum berdasarkan kompetensi dan sebagai kerangka/menu. Kurikulum difokuskan pada soft skill dan pengembangan karakter. Sedangkan sistem penilaian bersifat formatif/mendukung dan berdasarkan karya atau portofolio. Perubahan yang dilakukan pemerintah semakin menguatkan pendidikan di Indonesia sehingga anak – anak muda siap untuk menyongsong masa depan cerah dan penuh harapan.

Menurut Arturo Sosa (2020) orang-orang muda, sebagian besar miskin, menghadapi tantangan besar di dunia zaman ini, antara lain seperti berkurangnya lapangan kerja, ketidakstabilan ekonomi, meningkatnya kekerasan politik, berbagai bentuk diskriminasi, kerusakan lingkungan yang parah, dan berbagai penyakit lainnya. Semua ini menyulitkan mereka untuk menemukan makna hidup dan menghalangi usaha mereka mendekatkan diri kepada Tuhan. Masa muda adalah salah satu tahap ketika seseorang membuat keputusan mendasar dalam hidup.

Diharapkan guru atau pendamping menemani kaum muda (siswa) untuk melakukan discernment (menentukan keputusan) untuk menunjukkan jalan untuk masa depan yang lebih cerah. Lebih spesifik, fungsi dan tugas seorang guru adalah sebagai (a) “pamong”. Pamong atau perfect adalah pribadi yang mampu mengasuh, mendampingi siswa secara personal (cura personalis). (b) Guru sebagai role model. Siswa adalah seorang anak dalam tahap perkembangan dan mencari model. Maka peran guru harus bisa menjadi role model bagi siswa di sekolah.

Penyelenggara pendidikan di Indonesia ada yang berbasis umum dan religi misalnya; Muhammdiyah, NU, Katolik dan sebagainya. Sekolah Jesuit adalah karya kerasulan Serikat Jesus (salah satu Tarekat Imam Katolik). Semangat dasarnya adalah “penyelamatan jiwa-jiwa”. Dengan kata lain, “kemanusiaan” dalam konteks makna dari profesionalisme lebih diarahkan pada semangat dasar penyelamatan jiwa-jiwa itu.

Secara umum semangat dasarnya dirumuskan menjadi tiga, yakni kasih, kebebasan, dan keberagaman. Kasih harus diwujudkan dalam perbuatan. Atas dasar kasih itulah sekolah Jesuit berupaya membentuk siswa menjadi pemimpin pengabdi yang baik, berbela rasa dan setia dan pejuang kebenaran, keadilan, kejujuran. Pendidikan sekolah Jesuit mengutamakan kebebasan yang merupakan perwujudan konkret dari nilai kebebasan. Sebagai manusia yang bebas, siswa dididik sehingga mampu bertanggung jawab atas pilihannya, memperlakukan sesama penuh hormat, berempati terhadap orang miskin dan peduli terhadap permasalahan lingkungan hidup.

Harus disadari para siswa berasal dari berbagai latar belakang, suku, agama, dan ras. Untuk itu siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, menghargai keberagaman, peduli terhadap persoalan radikalisme agama. Dari sini sudah terlihat bahwa siswa untuk menjadi manusia yang peduli, berbela rasa dalam keberagaman.

Dalam pembelajarannya siswa diajak dalam kegiatan yang mengasah kepekaan kepada orang terpinggirkan dan miskin. Dimulai dari hal sederhana setiap tanggal 7 menghimpun dana untuk orang yang membutuhkan. Kegiatan lainnya adalah live in di pedesaan, rumah pemulung, panti asuhan dan panti jompo. Dipertajam oleh Arturo Sosa (2020) bahwa jalan yang hendak ditempuh bersama orang miskin ini adalah jalan yang mempromosikan keadilan sosial dan perubahan struktur ekonomi, politik, dan sosial yang menyebabkan ketidakadilan; jalan ini menjadi dimensi penting untuk melakukan rekonsiliasi pada tataran individu, komunitas, dan budaya mereka antara satu dengan yang lain, dengan alam, dan dengan Tuhan.

Setelah mengajari siswa untuk berbela rasa dan peduli kepada yang lemah, pihak sekolah juga harus memberi contoh dengan menerima siswa yang lemah dari sisi ekonomi. Label sekolah mahal pasti akan membuat calon siswa yang miskin untuk sekedar mendaftar saja tidak berani. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menjadikan pendidikan yang berpengharapan adalah pendidikan yang memberikan harapan untuk masa depan yang cerah. Pendidikan harus berubah dan diarahkan pada beberapa tahun mendatang saat para siswa hidup mandiri. Pendampingan personel sangat dibutuhkan bagi para siswa. Pendidikan yang berbela rasa adalah mengajak semua warga sekolah untuk peduli kepada yang lemah dan mencoba berjalan bersama untuk memahami dan memperjuangkannya keluar dari kelemahan dan kemiskinan.

Home
Berita
Kontak
Galeri