SMK Mikael Surakarta

Setahun Lebih Pandemi, Mau Tunggu Apa Lagi?

Setahun Lebih Pandemi, Mau Tunggu Apa Lagi?

Tanggal 16 Maret 2021 yang lalu, menurut catatan saya, genaplah sudah pandemi ini berlangsung selama 1 tahun, secara khusus dalam proses Pendidikan di SMK Mikael. Walaupun sebenarnya wabah Covid-19 ini secara global sudah mulai terjadi di penghujung 2019, menyerang Indonesia sekitar akhir Februari atau awal Maret 2020. Namun dampaknya di SMK Mikael “secara resmi” baru dirasakan mulai 16 Maret 2020. 

Mengingat kembali peristiwa 1 tahun lalu, kejadian ini berawal dengan ditetapkannya Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk Kota Surakarta oleh Walikota (saat itu), F.X. Hadi Rudyatmo pada Jumat malam, 13 Maret 2020. Dasar diambilnya keputusan ini adalah karena ada warga yang meninggal dunia setelah dinyatakan positif terpapar Covid-19. Keputusan yang terkesan mendadak ini pun mengagetkan semua pihak di Kota Surakarta, salah satunya bagi mereka yang terlibat dunia Pendidikan. Mulai Sabtu 14 Maret 2020, semua kegiatan Pendidikan di Kota Surakarta dihentikan sementara. Bahkan, kegiatan ekstrakurikuler Pramuka yang sedianya direncanakan tanggal 14 Maret 2020 jam 08.00 pun dibatalkan. Pengumuman disampaikan dan disebarkan melalui pesan WA. Sayangnya, tidak semua siswa SMK Mikael saat itu memiliki telepon genggam dan menerima informasi ini. Saya masih ingat betul, Sabtu pagi itu saya bersama petugas keamanan di Kolese Mikael dengan berat hati harus memulangkan siswa yang sudah datang dengan pakaian seragam Pramuka lengkap. Mereka adalah teman-teman dari Mentawai yang tinggal di Panti Asuhan Karuna Putra. Karena tidak memiliki telepon genggam, mereka tidak mendapatkan akses informasi ini. Walaupun sudah jauh-jauh datang dengan seragam yang lengkap dan rapi, akhirnya mereka pun dipulangkan. 

Pandemi Covid-19 ini juga berimbas ke kegiatan-kegiatan lain yang sudah disusun dalam kalender akademik. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika semuanya ini terjadi begitu cepat. Dalam waktu yang singkat, semua kegiatan yang disusun rasanya tidak ada artinya lagi, karena harus dibatalkan. 

Bagi para siswa kelas XII saat itu, segala persiapan Ujian Nasional dan Ujian Sekolah harus berhenti, padahal semua persiapan sudah dilakukan dan tinggal “eksekusi”. Ujian Nasional memang akhirnya ditiadakan. Sedang Ujian Sekolah dirubah ke model daring. Sebuah pengalaman baru, mengingat sebelumnya model ujian daring belum pernah dilakukan. 

Bagi para siswa kelas XI saat itu, mungkin rasanya lebih nyakitin. Kegiatan darmawisata ke Jawa Timur dan Pulau Bali yang sudah direncanakan dan tinggal berangkat, akhirnya batal. Begitu juga kegiatan Latihan kepemimpinan yang sudah disusun sedemikian rupa akhirnya harus batal juga. Semakin nyakitin lagi ketika mereka akhirnya “sedikit dipaksa” untuk mengikuti proses pembelajaran daring.

Bagi para siswa kelas X saat itu, peristiwa ini tidak kalah nyakitin. Mereka yang seharusnya mendapat libur karena kelas XII Ujian dan Kelas XI mengikuti program darmawisata dan Latihan kepemimpinan, akhirnya juga dipaksa untuk “bangkit dari liburan”. Mau tidak mau mereka juga harus mengikuti pembelajaran daring. 

Hal yang sama juga dirasakan para guru dan tenaga kependidikan. Sebelum Kota Surakarta di-lock down, para guru dan tenaga kependidikan yang sedianya dijadwalkan untuk mengikuti studi banding ke Singapura,itu pun juga harus dibatalkan. Bahkan dibatalkan dengan waktu kurang dari 24 jam dari jadwal keberangkatan. Jika dibilang kecewa, tentu saja kecewa, karena bagi beberapa rekan sebenarnya kesempatan ini adalah pengalaman pertama berkunjung ke luar negeri. Tetapi mau bagaimana lagi, situasinya memang tidak memungkinkan. 

Mengingat kembali ke saat itu, rasanya benar-benar amburadul. Semua tidak siap. Selama ini belum pernah terbayangkan akan menjalani pembelajaran daring secara purna waktu (full time). Tidak hanya siswanya saja yang tidak siap, para guru pun demikian. Para guru yang kebingungan pun akhirnya hanya memberi penugasan-penugasan kepada siswa yang semakin bikin pusing. Itu baru penugasannya, belum lagi media yang digunakan pun macem-macem. Mulai dari Moodle, Email, WA, dan berbagai pilihan yang membuat siswa makin pusing dan makin bingung

Hiruk pikuk Pendidikan di Mikael berganti dengan suasana yang sepi. Mesin-mesin berhenti dioperasikan. Ruangan kelas kosong. Kos-kosan yang ditinggal penghuninya dengan terpaksa, warung-warung yang kehilangan langgangannya, dan banyak “fenomena aneh” pun terjadi. Lambat laun, situasi ini menjadi sesuatu yang biasa. Hal ini terjadi sampai akhir tahun ajaran. Proses Pendidikan sepertinya berjalan denga asal-asalan, asal ada sekaligus asal jalan.

Situasi ini mulai berubah ketika memasuki tahun ajaran yang baru. Dengan digunakannya beberapa perangkat resmi dan disepakati bersama, seperti Google Classroom dan “teman-temannya”, pembelajaran sudah mulai tampak nyata, walaupun masih dilaksanakan dengan cara Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Beberapa siswa dapat mengikuti model pembelajaran yang baru ini, tetapi juga ada beberapa yang mengalami kesulitan. Tanpa terasa, dinamika PJJ berjalan hingga akhir semester gasal. Sehingga dalam 1 semester penuh, para siswa mengalami dinamika PJJ. Bagi para siswa kelas X, tentunya sedikit aneh, dari penyerahan siswa baru sampai penerimaan raport kok belum pernah ikut pembelajaran di sekolah. Walaupun ada beberapa hari kesempatan untuk simulasi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), simulasi tetaplah simulasi, dan bukan sesuatu yang “betulan”. Maka, proses Pendidikan selama 1 semester penuh dapat dirasakan sebagai sebuah proses yang kurang wajar.

Memasuki semester genap, tepatnya di bulan Januari 2021, pandemi Covid-19 belum selesai. Ketika ada rencana untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, yang ada justru pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) se-Jawa dan Bali. Mentahlah lagi semua rencana. Akhirnya rencana untuk mengajak siswa “kembali ke sekolah” baru bisa dilaksanakan pada awal Februari 2021.

Mulai hari Senin, 1 Februari 2021, akhirnya para siswa kelas XII diajak kembali ke sekolah, khususnya kembali berkegiatan praktek dengan sebuah kegiatan yang dinamakan Konsultasi Kompetensi Produktif (KKP). Di luar dugaan, antusiasme para siswa untuk berdinamika kembali di sekolah begitu luar biasa. Sejauh yang saya lihat dan catat, hanya 3 siswa yang tidak ikut bergabung, dari sekitar 170 siswa kelas XII. Alasan yang bisa diterima adalah orangtua tidak mengijinkan. Meskipun demikian, bagi sekolah tidak masalah, karena ijin orangtua merupakan syarat utama siswa dapat kembali bergabung di sekolah. Jika orangtua tidak mengijinkan, sekolah tidak akan memaksa. 

Setelah berjalan 1 bulan, giliran kelas XI mendapat bagian. Mereka mulai masuk setelah hampir 1 tahun “tidak belajar di sekolah”. Tak mau kalah dengan kakak kelasnya, antusiasme mereka juga sangat tinggi. Walaupun masih ada yang belum diijinkan oleh orangtuanya, tetapi jumlahnya juga tidak banyak, bahkan lebih sedikit dibandingkan siswa kelas XII.

Dan akhirnya, mulai tanggal 14 April 2021, giliran para siswa kelas X. Meskipun belum semua kelas dapat merasakan (karena adanya jadwal blok), dan waktu yang ada juga singkat (hanya sekitar 1,5 bulan). Antusiasme siswa juga tampak. Kembali lagi dijumpai wajah-wajah para siswa yang gembira untuk kembali ke sekolah, berdinamika bersama, dan berjumpa dengan teman-teman baru yang sebelumnya hanya bisa dijumpai di layar ponsel ataupun laptop.

Dalam catatan saya, kegiatan mengajak para siswa kembali “bersekolah secara wajar”, merupakan sebuah terobosan baru yang patut diapresiasi. Dan jika dilihat dari antusiasme siswa, sangat tampak bahwa mereka begitu merindukan untuk kembali bersekolah dengan segala dinamikanya. Catatan lain juga, bahwa penerapan protokol kesehatan menjadi kunci sukses berlangsungnya kegiatan pembelajaran di sekolah. Walaupun para guru dan tenaga kependidikan harus merelakan diri terjadwal piket untuk memantau para siswa yang datang dan pulang, sekaligus memantau perkembangan Kesehatan mereka, rasa lelah yang mereka rasakan tidak sebanding dengan “penemuan kembali” segala kegembiraan yang dirasakan siswa dan antusiasme belajar mereka. 

Bagi saya pribadi, sekaranglah saatnya untuk mengajak siswa kembali ke “habitat” mereka, yaitu sekolah. Jika sekarang kita sudah bisa bepergian kembali dengan berbagai moda transportasi. Jika kita sudah bisa kembali berbelanja ke pusat-pusat perbelanjaan. Jika kita sudah boleh beribadah di tempat-tempat ibadah. Yang bener aja, mosok kita belum boleh belajar di sekolah? 

Sudah setahun lebih pandemi, mau tunggu apa lagi?

 

Sebagai akhir catatan saya kali ini, saya menutup dengan cuplikan dari lagu “Pergi Belajar” karya Ibu Sud (yang bernama asli Saridjah Niung)

Pergilah belajar, nak, penuh semangat

Rajinlah selalu tentu kau dapat

Hormati gurumu, sayangi teman

Itulah tandanya kau murid budiman

 

Salam dan Doa

 

Alexander Arief R

Sub Pamong

Home
Berita
Kontak
Galeri