Jl. Mojo No. 1 Karangasem, Laweyan, Surakarta
Telp. 0271-712728
Fax. 0271-728681
info@smkmikael.sch.id
Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya pelajari dulu sewaktu menjadi siswa SMK Mikael, yang saat itu diampu oleh Bapak Stepanus Maryata, dijelaskan tentang kata “saudara” dan pembentukan katanya. Jika saya tidak salah mengingat, kata saudara berasal dari kata “sa” dan “udara”. Kata “sa” berarti satu dan kata “udara” dapat berarti “perut” (pada pewayangan Jawa, tokoh Bima juga dikenal sebagai “Wrekodara” yang berarti “perut serigala”, mengacu pada kebiasaan dan kekuatannya dalam hal makan..). Artinya saudara adalah mereka yang terlahir dari satu perut atau satu ibu. Ada juga yang mengatakan bahwa kata “saudara” berasal dari kata “sa” yang berarti satu dan “dara” yang berarti “darah”, sehingga arti saudara adalah mereka yang mempunyai pertalian darah atau hubungan kekerabatan.
Apapun artinya, dalam perkembangannya saat ini, kata “saudara” mempunyai pergeseran makna yang semakin meluas (generalisasi). Siapapun bisa disebut saudara (atau saudari dalam bentuk feminim), jika orang tersebut mempunyai relasi dengan seseorang (saudara seperguruan, saudara seiman, dll). Bahkan kata ini juga dapat digunakan sebagai kata sapaan yang lebih halus jika dibandingkan dengan kata “kamu” ataupun “anda”.
Bentuk nomina (kata benda) dari “saudara” adalah “persaudaraan”. Kali ini saya tidak akan membahas panjang lebar tentang “menata kata”, karena itu bukanlah kompetensi saya untuk menyampaikannya, namun mengacu pada judul di awal tulisan ini, saya hanya akan membagikan cerita, pengalaman, sekaligus refleksi pribadi saya tentang bagaimana membangun sekaligus merasakan persaudaraan yang sejati.
Pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMK Katolik St. Mikael tahun lalu, ada sebuah program yang cukup menarik, walaupun program tersebut sebenarnya terjadi secara mendadak dan tidak direncanakan sebelumnya. Program tersebut selanjutnya dikenal sebagai “Mikael Menyapa”. Dalam program tersebut, setiap pegawai di SMK Katolik St. Mikael diutus dan ditugaskan untuk mengunjungi para calon siswa baru kelas X. Saat itu masih disebut calon siswa, karena meskipun sudah dinyatakan diterima, namun secara resmi masih belum bergabung dengan SMK Katolik St. Mikael. Para pegawai SMK Mikael ditugaskan mengunjungi para calon siswa baru dan keluarganya. Jika tempat tinggal para calon siswa masih terjangkau, maka akan dikunjungi secara langsung ke rumah. Sedangkan jika tempat tinggal siswa tidak terjangkau atau memungkinkan untuk dikunjungi secara langsung, kunjungan dilakukan secara virtual dengan memanfaatkan teknologi video call. Saya sendiri “kebetulan” hanya kebagian mengunjungi 1 rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal saya di wilayah Palur. Sementara personil yang lain seperti Guru Bahasa Inggris kita, Bapak Happy berkenan menyediakan diri untuk mengunjungi rumah calon siswa baru yang tinggal di daerah Wates, Kulon Progo. Walaupun masih dalam satu provinsi dengan tempat tinggal Pak Happy, namun jaraknya masih puluhan kilometer. Dan hebatnya lagi, Pak Happy mengunjungi dengan sepedaan, sesuai dengan hobinya. Artinya, untuk sekedar menyapa pun diperlukan suatu usaha yang tidak mudah.
Dari kesan mereka yang mengunjungi dan dikunjungi, saya menangkap sebuah suasana positif yang terbangun. Dari pengalaman saya, ketika saya berkunjung ke rumah calon siswa baru saat itu, saya diterima sebagai saudara. Bahkan bukan menjadi suatu hal yang dipersoalkan ketika saya datang tanpa mengenakan lambang-lambang atau atribut SMK Katolik St. Mikael. Ketika saya mengunjungi, saya hanya memberitahu bahwa saya diutus oleh SMK Katolik St. Mikael untuk datang dan menyapa keluarga calon siswa baru, saya diterima dengan sangat ramah. Bahkan bapak, ibu, dan anaknya yang notabene calon siswa baru ikut menemui sambil ngobrol-ngobrol bersama. Tanpa terasa, kegiatan yang saya perkirakan hanya akan berlangsung selama 30 menit ini bisa molor hingga 2 jam, dan saya harus pamit karena masih ada tugas di rumah berupa mengambil cucian yang dijemur untuk selanjutnya disetrika.
Itu baru kesan saya yang mengunjungi sebuah keluarga. Jika digabungkan dengan cerita teman-teman yang lain, kesimpulannya mungkin hampir sama. Bahwa kami yang datang diterima dengan ramah sebagai saudara dalam “rumah” keluarga besar SMK Katolik St. Mikael. Baik yang berkunjung secara langsung maupun secara “virtual”, kami semua merasakan hal yang sama. Kami merasakan sebuah persaudaraan yang sejati. Persaudaraan yang dibangun bukan karena persamaan suku, agama, maupun latar belakang keluarga. Namun justru persaudaraan yang dibangun karena persamaan rasa, menjadi bagian dari keluarga besar SMK Katolik St. Mikael.
Dalam refleksi kali ini, saya mencoba mengaitkan ini semua ke dalam konteks Latihan Rohani Santo Ignasius dari Loyola, pendiri Serikat Jesus. Di dalam Latihan Rohani, Santo Ignasius menyampaikan tentang sarana dan tujuan. Tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menghormati, dan memuliakan Allah Tuhan kita. Dari tujuan ini selanjutnya disediakan sarana (dan mungkin banyak sarana…) untuk semakin mengarahkan diri kita pada tujuan. Dalam banyak situasi, manusia seringkali salah dalam menempatkan tujuan dan sarana. Apa yang semestinya menjadi sarana dijadikan tujuan, begitupun sebaliknya. Allah sebagai tujuan tidak boleh ditempatkan sebagai sarana. Segala situasi di dalam hidup, sekalipun itu rasa sakit atau kemiskinan, bisa menjadi carabagi manusia untuk memuliakan Allah.
Kegiatan “Mikael Menyapa” juga bisa direfleksikan sebagai salah satu saran untuk mencapai tujuan memuji, menghormati, dan memuliakan Allah Tuhan kita, atau yang lebih beken dikenal dengan AMDG, Ad Maiorem Dei Gloriam (demi lebih besarnya Kemuliaan Tuhan). Maka, kunjungan yang dilakukan secara langsung maupun secara virtual, semuanya hanya sarana, dan bukan sebagai tujuan. Dari sarana-sarana yang dipilih dan dilakukan tersebut, baik para pegawai yang ditugaskan berkunjung, maupun para calon baru siswa beserta keluarganya, sama-sama merasakan pada keyakinan bahwa kita semua dicintai Allah. Dan keputusan untuk bergabung dengan SMK Katolik St. Mikael merupakan suatu sikap yang merdeka (dalam bahasa Latihan Rohani dikenal sebagai sikap lepas bebas..) untuk semakin memuliakan Allah dalam hidup kita.
Maka di masa pandemi Covid 19 dan Pembelajaran Jarak Jauh ini, saya pun mengajak semua, teman-teman siswa, para pendidik dan tenaga kependidikan, para orangtua siswa, dan siapa saja yang mempunyai perhatian pada pendidikan orang muda dalam Keluarga Besar SMK Katolik St. Mikael Surakarta untuk membangun sebuah persaudaraan yang sejati. Persaudaraan yang dilandasi oleh sebuah alasan yang sama, bahwa kita dicintai oleh Allah Tuhan kita. Segala gawai, dan alat-alat teknologi komunikasi yang ada dapat kita manfaatkan untuk membangun persaudaraan yang sejati. Sehingga suasana PJJ yang akan kita jalani ini tidak hanya dirasakan sebagai sebuah suasana pembelajaran yang dipenuhi dengan nuansa akademis, tetapi juga dirasakan sebagai sebuah suasana persaudaraan. Dengan suasana persaudaraan yang sejati, dengan komunikasi yang baik, mari kita bangun kultur belajar yang tidak lagi dipenuhi dengan pilihan : ya-tidak, benar-salah, tepat-tidak tepat, atau pilihan yang sejenis, tetapi sebuah kultur belajar yang memberi kesempatan kepada semua untuk dapat menjadi lebih baik, bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Tiap hari latih diri, pantang mundur terus maju…
Salam dan Doa…
Alexander Arief Rahadian
Sub Pamong